Site icon Informasi Sains dan Teknologi

Urgensi Komunikasi Sains

Urgensi Komunikasi Sains  – Sains bukan hanya ilmu, itu adalah pola berpikir  Setidaknya Carl Sagan mengungkapkan pandangan ini dalam bukunya “The Universe”. Sains bukanlah hal yang mendung, tetapi harus tercermin dalam kehidupan manusia. Ungkapan di atas berarti ini. Sains bukan hanya milik orang pintar, tetapi juga milik publik.

Urgensi Komunikasi Sains

Sumber : litbang.kemendagri.go.id

 Baca Juga: Pentingnya Sains dalam Pendidikan

gitit – Namun, seringkali terjadi bahwa ketika para ilmuwan menjelaskan sains dengan bahasa ilmiah yang kaku dan tidak sederhana, orang awam biasanya tidak memahaminya. Akibatnya, ekspektasi ilmiah tidak didapat masyarakat. Jika keadaan ini dibiarkan terus berlanjut, maka tidak mungkin masyarakat bisa berhenti mempercayai sains atau yang disebut anti sains.

Padahal, gerakan “anti sains” lahir dari tingginya ekspektasi masyarakat terhadap sains, namun seringkali ekspektasi tersebut tidak terpenuhi. Misalnya, karena komunikasi ilmiah yang lemah antara ilmuwan, masyarakat, dan pemerintah, masalah terkait vaksinasi dalam pandemi Covid-19 belakangan ini menjadi semakin pelik. Jika masyarakat bisa terdidik dengan baik, maka rencana vaksinasi ini harus bisa “diberkati” oleh masyarakat.

Sebaliknya, meski Presiden Jokovy “bersedia” menjadi orang pertama yang disuntik, banyak orang masih belum percaya dengan keamanan vaksin corona. Komunitas tidak mengubah ide vaksinasi mereka, tetapi mengembangkan antitesis baru berdasarkan versinya.

Beberapa orang mengatakan bahwa “vaksinasi berbahaya karena bakteri mengaktifkan dan menginfeksi tubuh penerima.” Yang lain berpendapat: “Kita semua tidak membutuhkan vaksin karena Tuhan telah memberi kita kekebalan; selain itu, anak-anak juga diberikan kekebalan Ibu.”

Mereka menolak keberadaan vaksin semata-mata berdasarkan keyakinan, bukan fakta. Sebelum rencana vaksinasi pemerintah diberlakukan pada awal 2021, lebih banyak oposisi baru muncul di masyarakat. Hasil survei SMRC menunjukkan bahwa hanya 56% masyarakat yang percaya dengan keamanan vaksin tersebut. Artinya, kepercayaan masyarakat terhadap vaksin sangat rendah, bahkan cenderung menurun, karena data survei sebelumnya adalah 66%.

Penyebaran hoax telah memperburuk situasi ini. Asosiasi Anti Pencemaran Nama Baik Indonesia (Mafindo) mencatat setidaknya 2024 hoax terkait Covid-19 menyebar ke publik sepanjang tahun 2020. “Prestasi” luar biasa ini berhasil membuat Indonesia menduduki peringkat kelima dunia dalam peredaran hoax Covid-19. Alhasil, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia, gerakan komunitas anti vaksin pun mulai bangkit.

Hoaks dan Disinformasi

Tingginya penyebaran hoax justru diabaikan karena pemahaman masyarakat terhadap sains secara utuh. Karena kurangnya kesadaran publik tentang sains, telah terjadi banyak kasus di masa lalu. Misalnya, bencana alam telah merenggut banyak nyawa dan menimbulkan kerugian materi yang sangat besar. Misalnya gempa yang terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah Palu-Tongata dua tahun lalu.

Disinyalir, masyarakat kurang memahami parahnya bencana tersebut karena informasi pengurangan bencana di daerah tersebut tidak dapat dijalankan secara optimal. Minimnya sosialisasi dari pemerintah daerah juga “mempermudah” dampak bencana ini.Tanpa edukasi, warga cuma dapat memercayakan dorongan hati buat melindungi diri dikala mengalami musibah . Ironisnya, kala para akademikus menegaskan kemampuan ancaman guncangan alam pada penguasa wilayah, mereka dituding mengancam warga. Mereka takut pemodalan tidak masuk ke bidangnya.

Komunikasi ilmiah yang tidak efektif oleh ilmuwan akan mengakibatkan hilangnya informasi sosial. Sekalipun masyarakat perlu menerapkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi ilmiah yang buruk akan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.Ilmu wawasan tidak lagi khusus, namun wajib disebarluaskan serta disebarluaskan pada warga seluas- luasnya.

Di masa digital semacam saat ini ini , ilmu komunikasi memegang peranan yang lebih penting yaitu menjaga penalaran publik agar masyarakat tidak mudah tertelan oleh penipuan. Alasan mengapa penipuan berkembang begitu cepat adalah karena orang tidak dapat memperoleh informasi yang benar dari sumber yang dapat dipercaya dan dapat dipercaya (yaitu, ilmuwan).

Harus kita akui bahwa komunikasi antara ilmuwan, masyarakat dan pemerintah masih sangat lemah dan sering terputus.Akademikus mempunyai kemampuan buat menarangkan pada khalayak serta membagikan nasehat pada penguasa . Sayangnya, kemampuan komunikasi ilmiah mereka kurang memadai, sehingga belum bisa menyampaikan hasil penelitian yang bisa dicerna masyarakat.

Kebiasaan ilmuwan yang bekerja di lingkungan dan topik tertentu seringkali menimbulkan pemikiran eksklusif. Alih-alih menyebarkan ilmu ke publik, ilmuwan di bidang lain tidak diikutsertakan. Ilmuwan sering kali peduli dengan topik dan kelompok mereka.

Putusnya jembatan komunikasi antara ilmuwan dan masyarakat disebabkan oleh perbedaan titik tolak ilmu pengetahuan. Ilmuwan cenderung fokus pada sains dan propaganda. Tak heran, sebagian besar hasil penelitian selama ini telah dipublikasikan di forum ilmiah. Padahal, masyarakat cenderung membutuhkan berita yang sederhana, mudah dipahami dan menarik. Komunikasi ilmiah yang masuk akal mutlak diperlukan untuk menjembatani kesenjangan ini.

Solusi yang Logis

Tantangan dalam komunikasi ilmiah adalah bagaimana ilmuwan berperan dalam menjelaskan kebaruan sains dan bagaimana meyakinkan publik bahwa sains adalah solusi yang logis dan masuk akal. Usai pemeriksaan, sebenarnya para ilmuwan telah berusaha menyebarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat dan pemerintah, terutama pejabat yang berwenang. Misalnya di Palu-Donggata (Palu-Donggata), para ilmuwan ingin mengajak masyarakat bersiap menghadapi potensi bencana.

Namun, ternyata banyak kendala yang menyebabkan komunikasi ilmiah menjadi “terputus” di tengah jalan. Setidaknya ada tiga masalah dasar dengan ilmuwan yang mengkomunikasikan sains. Yang pertama adalah masalah bahasa. Sulit bagi ilmuwan untuk menerjemahkan kompleksitas sains ke dalam pidato yang mudah dipahami publik. Hal ini disebabkan adanya perbedaan bahasa yang digunakan, yaitu perbedaan antara bahasa ilmiah dan bahasa semi populer.

Penggunaan bahasa sederhana untuk mengkomunikasikan hasil penelitian merupakan kunci keberhasilan proses transfer pengetahuan. Ilmuwan dengan pengalaman publikasi ilmiah mungkin tidak dapat menghasilkan karya populer yang baik dan menarik. Struktur dan gaya penulisan populer agak berbeda dengan penulisan ilmiah.

Kedua, masalah persepsi. Ilmuwan cenderung menyajikan data ilmiah (data ilmiah) secara teoritis dan fokus pada akurasi daripada keterbacaan. Tetapi orang biasa tidak mengerti dan lebih suka mengetahui manfaat sebenarnya bagi mereka. Inilah perbedaan pendapat antara ilmuwan dan masyarakat.

Ketiga, masalah nilai. Media masih percaya bahwa sains tidak memiliki nilai berita yang cukup. Fakta membuktikan bahwa tidak mudah menarik pemberitaan media dari sudut pandang ilmiah. Di Indonesia, di mata publik, infotainmen sepertinya memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari isu ilmiah.Akademikus berambisi alat bisa menolong mempublikasikan hasil penelitiannya pada pembaca yang lebih besar . Sayangnya, tidak semua jurnalis juga memiliki pengetahuan dasar ilmiah yang memadai.

Kita masih ingat media memberitakan fenomena gerhana bulan total (GBT), super moon, dan blue moon 2018. Alhasil, orang tiba-tiba berbondong-bondong melihat gerhana bulan total semacam ini. Padahal menurut ilmuwan, ini adalah fenomena biasa, dan “Supermoon” hanyalah bulan purnama biasa yang sering kita lihat di malam hari, tapi warnanya merah. . Sayangnya lagi, sebagian orang percaya bahwa fenomena GBT adalah pertanda berakhirnya zaman.

 Baca Juga : Penjelasan Singkat Tentang Astronomi 

Forum Ilmiah vs Non-Ilmiah

Jika komunikasi ilmiah dapat direalisasikan secara efektif, maka permasalahan tersebut di atas sebenarnya dapat diatasi. Menulis narasi ilmiah saja tidak cukup. Ilmuwan perlu belajar mengembangkan komunikasi ilmiah di dalam diri mereka sendiri. Publikasi jurnal ilmiah bukan satu-satunya cara untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan apalagi dibuka untuk umum.

Ilmuwan seharusnya tidak lagi membedakan kepentingan antara forum ilmiah dan forum non-ilmiah. Misalnya melalui berbagai pelatihan intensif, belajar menulis sastra semi populer, infografik, bahkan melalui media sosial seperti Podcast dan Youtube untuk mengembangkan komunikasi ilmiah.

Dukungan kelembagaan juga harus ditingkatkan agar para ilmuwan memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan keilmuannya. Banyak lembaga yang tidak menyadari bahwa ada kesenjangan antara sains dan kebutuhan publik. Ilmu komunikasi bisa menjadi jembatan antara keduanya. Apalagi jika kita ingin pemerintah merumuskan kebijakan berbasis bukti,para akademikus wajib sanggup mengkomunikasikan temuannya dengan bagus . Hal ini sangat penting karena kebijakan yang mengabaikan ilmu pengetahuan seringkali menyesatkan dan tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Hal lain yang sama pentingnya adalah ketekunan atau ketekunan. Hambatan berpikir masyarakat dan pemerintah tidak dapat diubah dalam semalam. Dibutuhkan upaya terus-menerus untuk mendidik pentingnya sains dan memungkinkan orang untuk berpikir tentang sains secara beradab. Sikap pantang menyerah adalah pesan inti yang ingin disampaikan Carl Sagan dalam buku terlaris klasiknya.

Kampanye anti-vaksin di Indonesia muncul dan diperkuat berdasarkan keyakinan daripada sains. Kita tahu bahwa bahkan dengan bukti ilmiah baru, gerakan ini tidak berani mengubah pandangan lamanya. Seperti orang datar, meskipun para ilmuwan berulang kali membantah, mereka selalu percaya bahwa teori ini bisa tetap hidup. Lalu, apakah para ilmuwan menyerah? Semoga tidak!

Exit mobile version